Pengenalan Herbarium
Pengetahuan akan herbarium di kalangan masyarakat kampus pada umumnya masih sangat kurang. Padahal kita tahu, bahwa pengetahuan akan herbarium sangat dibutuhkan dalam hal penelitian, seperti penelitian yang melibatkan identifikasi tanaman serta untuk mengetahui hubungan kekerabatan suatu jenis tanaman dengan jenis tanaman lainnya. Herbarium, tidak hanya sekadar awetan kering yang diberi label lalu disimpan. Namun, herbarium memiliki nilai ilmiah yang lebih tinggi dari hanya sekadar koleksi saja yang dapat merekam berbagai macam informasi.
Program kerja INTANAS ini diadakan dalam tiga rangkaian acara dengan sasaran utama yaitu mahasiswa aktif Himbio Unpad. Rangkaian ketiga acara ini diadakan secara daring pada hari selasa tanggal 22 September 2020 pukul 16.00 WIB melalui Google Meet. Tema yang dibawakan yaitu Mengenal Herbarium pada Tanaman Hias dengan pemateri oleh Kang Arifin selaku kurator Herbarium Bandungense dan dimoderatori oleh Krisna Suzana selaku ketua divisi Flora dan Lingkungan Himbio Unpad.
Apa itu herbarium? Herbarium merupakan tempat di mana material awetan tumbuhan disimpan. Material tumbuhan yang telah diawetkan dapat berupa herbarium basah dan herbarium kering. Fungsi umum herbarium, yaitu sebagai sarana untuk pendidikan, sarana untuk penelitian (anatomi, ekologi, morfologi, molekuler, palinologi, sistematika, taksonomi), bukti keanekaragaman hayati, bahan rujukan untuk mengidentifikasi suatu jenis tumbuhan serta untuk menyediakan database keanekaragaman tumbuhan di suatu kawasan tertentu
Herbarium yang ada di Jawa Baat salah satunya yaitu Herbarium Bandungense (FIPIA), bagaimana sejarah awal berdirinya Herbarium Bandungense (FIPIA)? Herbarium Bandungense (FIPIA) merupakan herbarium tertua kedua di Indonesia setelah Herbarium Bogoriense. Dibangun pada tahun 1940an oleh beberapa ahli botani Belanda yang sangat mencintai keanekaan hayati di tatar sunda, yaitu L. van der Pijl serta S.M. Popta. Secara geografis, iklim di Jawa Barat yang beriklim basah serta berbeda dengan iklim di Jawa Tengah dan Jawa Timur, menyebabkan komposisi flora di Jawa Barat lebih unik dan lebih cantik secara morfologi dibandingkan dengan tumbuhan khas Jawa Timur yang rata-rata berduri serta menggugurkan daunnya ketika kemarau tiba. Berdasarkan hal tersebut, beberapa ahli botani Belanda memutuskan untuk membangun Herbarium Bandungense. Awalnya didirikan khusus untuk flora pegunungang di Jawa Barat. Namun, sekarang sudah mengalami perluasan fokus spesimen yang dikoleksi. Ahli botani Belanda, S.M. Popta, yang merupakan tuan tanah di Deli Serdang, Medan, saat itu kemudian diundang ke bandung untuk mengoleksi jenis tumbuhan di Jawa Barat. Pada tahun awal 1940an beliau melakukan ekspedisi di Tangkuban Perahu, dan ketika Jepang masuk ke Indonesia, sebagian koleksinya hancur dan sisanya disimpan di FIPIA sebagai objek pembelajaran dan sebagiannya lagi disimpan di Herbarium Bogoriense.
Setelah merdeka, pada tahun 1949 Herbarium Bandungense ini resmi terdaftar secara internasional di indeks Herbariorum volume 1 dengan kode FIPIA. FIPIA digunakan dengan alasan pada saat itu posisi Herbarium Bandungense ini dibawah manajemen Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (FIPIA) dan sampai saat ini kode FIPIA ini masih digunakan karena kode ini merupakan kode resmi secara internasional. Saat ini FIPIA berada di bawah Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB karena saat ini Biologi ITB sudah terpisah menjadi sekolah yang mandiri. Kemudian berstatus herbarium universitas yang melayani tiga hal, yaitu melayani urusan pendidikan, penelitian, dan pelayanan mayarakat.
Menurut Kang Arifin, saat ini FIPIA memiliki koleksi kurang lebih 14.000 spesimen, paling banyak yaitu koleksi kering dari kelompok Eudikot sekitar 10.000 spesimen. Spesimen paling tua berasal dari tahun 1868 atau abad 19 akhir dan merupakan tumbuhan Eropa yang diintroduksi ke Bandung pada saat itu. Selain spesimen awetan kering juga terdapat spesimen awetan basah, karpologi, artefak etnobotani, fosil tetumbuhan, xylarium, dan koleksi tumbuhan berguna, yaitu tumbuhan obat, rempah-rempah, pewarna alami, dan penghasil resin. Kolektornya antara lain yaitu A.J.G.H. Kostermans, B. v/d Brink Jr., C.G.G.J. van Steenis, J.H. Kern, J.H.F. Neubauer, L. v/d Pijl, M.M.J. van Balgooy, S.M. Popta, dan W. Meijer. Selain itu juga terdapat kolektor dari LIPI, yaitu A. Hidayat, Eka A. Iskandar, H. Wiriadinata, M.R. Hariri, Peniwidiyanti, R. Asmarayani, W. Ardi, dan W. Wardani.
Perbedaan Herbarium Bandungense dengan herbarium universitas lainnya di Jawa Barat, yaitu memiliki spesimen isotype atau yang disebut duplikat dari holotype. Contohnya yaitu Begonia incudiformicarpa Ardi & D.C. Thomas, B. iskandariana Ardi & D.C. Thomas, B. johntania Ardi & D.C. Thomas, Pinanga schwanerensis A. Randi, Hikmat & Heatubun, dan Sumbavia monoica Kosterm. Fokus Herbarium Bandungense (FIPIA) pada kurun waktu tiga tahun terakhir ini yaitu mengoleksi dan mempublikasi jenis-jenis tumbuhan asing yang belum terekam sebelumnya dalam Flora of Java.
Bagaimana mengelola herbarium dan merawat spesimen? Gedung Herbarium Bandungense berada dalam satu gedung dengan museum Zoology ITB yang sudah cukup tua. Denah gedung herbarium dibagi menjadi 4 runag yang lebih kecil, ada ruang display, ruang kurator, ruang spesimen herbarium, dan ruang preparasi. Pada ruang display dipajang spesimen-spesimen non spesimen kering yang dimounting di atas kertas bebas asam Selain itu terdapat awetan basah, karpologi, fosil, artefak etnobotani, serta simplisia tumbuhan obat dan penghasil resin. Ruang spesimen herbarium digunakan khusus untuk awetan-awetan kering yang dimounting di atas kertas. Sedangkan ruang preparasi merupakan ruang untuk proses pembuatan spesimen herbarium mulai dari pengeringan hingga mounting spesimen. Pada ruang display spesimen disusun berdasarkan kekerabatannya, seperti (Magnoliid, Monocots, Eudicots [Caryophyllales, Rosid, Malvid, Asterid]). Selain itu terdapat laci tematik, antara lain terdapat tumbuhan berguna, yaitu tumbuhan obat, stimulans, rempah, pewarna alami, tumbuhan aromatik; padi kultivar lokal; serat alami; artefak etnobotani; karpologi buah legume, buah Arecaceae, buah Cucurbitaceae, buah Dipterocarpaceae, buah Fagaceae, dll. Terdapat juga fosil dan fosil hidup, begitu menurut Curator Herbarium FIPIA tersebut.
Bagaimana cara merawat spesimen awetan basah? Gunakan wadah spesimen kaca, seperti botol selai (spesimen kecil), toples asinan/akuarium (spesimen sedang-besar) serta wadah berkeran untuk memudahkan penggantian larutan alkohol. Perawatan ruang spesimen herbarium, yang pertama suhu dijaga 20oC. Kemudian celah-celah pada jendela ditutup dengan karet dan kaca serta spesimen herbarium dikelompokkan secara taksonomi dan disusun alfabetis. Sedangkan cara perawatan spesimen, yaitu spesimen disimpan dalam kotak aluminium untuk menghindari serangga; untuk specimen isotype dibungkus plastik; pemberian naftalen secara berkala; fumigasi setiap enam bulan sekali; untuk spesimen berjamur disimpan di dalam deep freezer kemudian baru dimasukkan ke dalam kotak aluminium; dan untuk specimen kotor dibersihkan dengan kuas.
Bagaimana cara membuat spesimen herbarium? Pembuatan spesimen basah, yaitu material disimpan dalam wadah kaca berisi alkohol 70% dan formalin 4%. Namun, untuk Herbarium Bandungense hanya menggunakan alkohol 70%. Label yang disimpan dibagian dalam menggunakan kertas kalkir yang ditulis menggunakna pensil. Sedangkan cara pembuatan spesimen kering, yaitu pertama mengoleksi atau mengambil tumbuhan di lapangan; pengeringan atau pengepresan; pelekatan pada kertas herbarium; determinasi atau identifikasi; pemberian label; pemberian nomor, pemasukkan nama dalam katalog dan database; serta penyimpanan dalam kaleng koleksi.
Kemudian seperti biasa diadakan sesi Tanya jawab. Pertanyaan pertama dari the Tanti aryanti dengan pertanyaan ”Maaf kang izin bertanya, sebaiknya berapa jangka waktu yang baik suatu specimen itu untuk dijadikan herbarium?”, kang Arifin memberikan tanggapan yaitu “ketika melakukan pengoleksian specimen di lapangan misalkan kita mencari specimen di lapangan selama 2 jam, langsung masukan ke karung, dan setiap jenis dilindungi kain untuk memudahkan ketika akan dipisahkan ketika di bongkar di tenda atau basecamp. Ketika sesampainya di tenda atau basecamp, langsung di bongkar dan dilapisi koran serta diberi alcohol 70%, sebab kalua dinanti-nanti tumbuhan akan layu (daunnya) sehingga tidak bagus untuk dibuat awetan kering”. Kemudian pertanyaan selanjutnya dari kang Daud Prasetyo “Spesies apa sih kang yang susah dijadikan herbarium?”, “Spesies yang susah dijadikan herbarium menurut saya yaitu rotan, karena harus lengkap tidak boleh ada yang ketinggalan bagian-bagiannya, pengambilan tumbuhannya pun agak ribet harus ditarik, dipotong batangnya, pelepahnya juga harus keambil, daunnya juga harus dikoleksi, serta rotan itu durinya banyak, maka untuk rotan harus menggunakan sarung tangan tebal biar tidak kena durinya” jawaban kang Arifin. Pertanyaan terakhir dari teh Ayu wandira “Kalau jamur termasuk awetan basah kan kang, apakah ada perlakuan khusus gitu gak kang buat jamur?”, “Jamur itu bukan awetan basah, jamur itu harus dikeringkan tidak boleh basah. Cara penyimpanannya berbeda juga. Namun di FIPIA sendiri belum terfokuskan ke jamur, makannya masih sedikit. Namun, bisa ditanyakan ke beberapa rekan saya lewat email yaitu mba Atik Retnowati kepala herbarium bogoriense dan kang Alexander Nara sebagai Curator Herbarium UI, karena disana sudah fokus ke jamur” jawaban kang Arifin.
Setelah sesi tanya jawab selesai, dilakukan penyerahan sertifikat secara simbolis untuk pemateri yaitu kang Arifin. Selanjutnya, dilakukan sesi kuis via quiziz dimana kuis tersebut sebagai bentuk evaluasi peserta terhadap materi yang disampaikan hari ini. Mudah-mudahan, ilmu yang diberikan hari ini dapat bermanfaat dan dapat dipakai di kehidupan sehari-hari, Aamiin.
Opmerkingen